Minggu, 22 Maret 2015

Makalah Nilai-Nilai Demokrasi




MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
"NILAI-NILAI DEMOKRASI"




DISUSUN OLEH       :  KELAS  A.1
KELOMPOK             :  1 (SATU)
NAMA                          : ADI JAZA FAJAR UTAMA
AGNES PELITA SARI
          AMELIA TRI WULANDARI
          ANDIKA PUTRA
          ANDY  FALANDYKA

DOSEN              : Drs. SAZILI, M.Pd

AKADEMI FARMASI AL-FATAH BENGKULU
TAHUN 2014-2015



BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Cita-cita untuk mewujudkan masyarakat madani meniscayakan suatu upaya yang serius dan sistematis. Masyarakat madani bukan sekadar sistem, tetapi juga merupakan proses. Oleh karena itu, mewujudkan masyarakat madani perlu proses yang sistematis. Dan salah satu proses yang paling strategis ialah melalui pendidikan.
Masyarakat madani merupakan konsep yang kompleks karena did
alamnya terkandung konsep relasi-relasi sosial yang beradab yang hendak ditransformasikan dalam kehidupan sosial sehari-hari. Didalamnya terdapat konsep masyarakat, hukum, demokrasi, pemerintahan dan kenegaraan, keterbukaan, perubahan sosial. Kompleksitas konsep masyarakat madani ini perlu ditransformasikan dalam kehidupan masyarakat melalui pendidikan yang sistematis.
Salah satu cara yang paling strategis untuk mentrasformasikan konsep masyarakat madani secara apikatif dalam dinamika kehidupan sosial ialah menyelenggarakan pendidikan kewarganegaraan (civic education). Dalam konteks Indonesia, sebuah negara yang sedang beranjak menuju demokrasi, pendidikan kewarganegaraan sangat penting diberikan kepada warga masyarakat untuk memaknai dinamika perubahan sosial yang berkembang di negeri ini, baik dalam tingkat lokal, nasianal, regional, dan global.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana urgensi pendidikan kewarganegaraan di indonesia?
2.      Bagaimana konsep masyarakat madani?
3.      Bagaimana aktualisasi masyarakat madani?
4.      Bagaimana pengembangan nilai – nilai kewargaan?

C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui urgensi pendidikan kewarganegaraan di indonesia?
2.      Untuk mengetahui konsep masyarakat madani?
3.      Untuk mengetahui aktualisasi masyarakat madani?
4.      Untuk mengetahui pengembangan nilai – nilai kewargaan?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    URGENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA
Pendidikan kewarganegaraan adalah konsep multi dimensional yang dimaksudkan untuk meletakkan dasar-dasar pengetahuan tentang masyarakat politik, tentang persiapan yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam proses politik secara menyeluruh, dan secara umum tentang apa definisi dan bagaimana menjadi warga negara yang baik.
Penanaman nilai-nilai kewargaan (civic values) melalui dunia pendidikan agaknya semakin menemukan momentumnya dalam transisi menuju demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia. Sebab, cara paling strategis untuk “mengalami demokrasi” ialah menyelenggarakan pendidikan kewarganegaraan yang didalamnya terkandung upaya sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, dan budaya demokrasi. Penyebaran nilai-nilai kewarganegaraan melalui pendidikan semakin urgen manakala bangsa ini mengalami krisis multi-dimensional yang berkepanjangan ditengah transisi sosial-politik menuju demokrasi. Urgensi ini terletak pada harapan terhadap generasi mendatang yang tumbuh dan berkembang melalui rahim pendidikan.
Urgensi dunia pendidikan dalam transisi sosial-politik menuju demokrasi terletak pada perannya dalam mempersiapkan anak didik mengadapi fenomena perubahan sosial pada tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional. Penyeragaman pendidikan secara nasional (untuk kepentingan politik kekuasaan)  dimasa lalu menyebabkan dunia pendidikan jadi modul dan tidak antisipatif terhadap problem-problem lokal,disamping juga kurang antisipatif terhadap perubahan sosial dalam skala global yang mengusung isu-isu pluralisme, demokrasi, dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, kini dunia pendidikan benar-benar dituntut perannya untuk menumbuhkan dan mengembangkan budaya madani (civic culture) di kalangan anak-anak muda yang sedang tumbuh dan berkembang. Menumbuhkan dan mengembangkan budaya madani merupakan modal dasar untuk mewujudkan dan menegakkan demokrasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Mengingat Indonesia yang sedang tumbuh menuju demokrasi, peran bidang pendidikan semakin penting. Sebab, menumbuhkan dan mengembangkan budaya madani membutuhkan upaya yang sistematis dan integral agar generasi muda yang tumbuh dan berkembang dalam rahim pendidikan dapat benar-benar “mengalami demokrasi.” Setelah tahu dan sadar tentang pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk menyangga, memelihara, dan melestarikan demokrasi dan masyarakat madani.

B.     KONSEP MASYARAKAT MADANI
Istilah “masyarakat madani” (al-mujtama’ al madani), selain menjadi isu penting dalam gerakan islam di Indonesia, pada saat yang sama telah menjadi wacana akademik yang cukup menarik dikampus-kampus. Pada tingkat konseptual masih diperdebatkan apakah istilah “masyarakat madani” itu sama (identik, sepadan) dengan konsep “masyarakat islam”, “masyarakat utama” dan lebih luas lagi dengan “civil society” (masyarakat warga, masyarakat sipil, masyarakat beradab) yang telah lama diperbincangkan dalam wacana akademik.
Perwujudan masyarakat madani di Indonesia memerlukan sebuah proses yang sistematis melalui pendidikan dengan menumbuhkan budaya madani di kalangan anak-anak muda yang sedang tumbuh dan berkembang di dunia pendidikan. Di sinilah letak urgensi pendidikan kewarganegaraan dalam cita-cita perwujudan masyarakat madani.
Istilah “masyarakat madani”, menurut sementara sumber,diperkenalkan oleh Dr. Anwar Ibrahaim, mantan deputi perdana menteri Malaysia. Dalam pidato kebudayaannya pada forum festival istiqlal pada 1995 di Jakarta, Anwar Ibrahim menyatakan, “justru islamlah yang pertama kali memperkenalkan kepada kita di rantau ini kepada cita-cita keadilan social dan pembentukan masyarakat madani, yaitu civil society yang bersifat demokratis “ (Hamiwanto dan said,2000:1).
Syed Muhammad naquid al-attas mengatakan bahwa konsep masyarakat madani berasal dari kosakata bahasa arab yang berarti: pertama, “masyarakat kota” dan kedua, ”masyarakat yang berperadaban”, sehingga masyarakat madani sama dengan civil society, yaitu masyarakat yang menunjang tinggi nilai-nilai peradaban(ibid.: 2).
Pada umumnya, konsep atau istilah masyarakat madani disamakan atau sepadan dengan civil society, padanan kata lainnya yang sering digunakan ialah masyarakat warga atau masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab, atau masyarakat berbudaya (culla, 1993: 3).
Di Malaysia dan kemudian di Indonesia, istilah “masyarakat madani” diterjemahkan dari istilah “civil society”, yang merujuk pada konsep klasik dari Cicero pada era yunani kuno, “cilivis societas”, yaitu komunitas politik yang beradab, dan didalamnya termasuk masyarakat kota yang memiliki kode hukum tersendiri. Masyarakat madani merujuk pada masyarakat yang pernah berkembang di madinah pada zaman nabi Muhammad, yang memiliki tammaddun (peradaban). Masyarakat madani ialah masyarakat yang mengacu pada nilai-nilai kebijakan umum, yang disebut al-khair (Rahardjo, 1999: 152).
Gellner (1995: 2) menunjukkan konsep civil society sebagai masyarakt yang terdiri atas berbagai insititusi non-pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk mengimbangi negara. Kemampuan mengimbangi yang dimaksud adalah daya untuk membendung dominasi Negara, kendati tidak mengingkari Negara. Konsep civil society tersebut dipopulerkan oleh Adam ferguson (1723-1816) untuk melukiskan sejarah masa lampau masyarakat dan peradaban barat yang otonom.  Konsep tersebut terus dikembangkan oleh para pemikir barat kontemporer, hingga lahirnya Negara-negara baru ddi eropa timur. Bagi sebagian kaum muslim, istilah ini dikonotasikan barat dan secular, kendati akar sejarahnya, yakni civil society, juga memiliki dasar pada “civitas dei” ( kota Tuhan). Dalam kajian Seligman sebagaimana disarikan oleh Culla (ibid.: 63), lahirnya gagasan civil society di dunia baratitu diilhami oleh empat pemikiran utama,yaitu:
1.      Tradisi hukum kodrat atau hukum alam,yang meletakkan pentingnya peranan akal dalam kehidupan individu dan masyarakat setelah kejatuhan Negara kota sebagaimana disuarakan Cicero;
2.      Doktrin Kristen prostetan, yang intinya menyatakan bahwa tatanan masyarakat merupakan cerminan dari tatanan ketuhanan;
3.      Paham kontrak social,bahwa masyarakat atau Negara lahir karena kesepakatan bersama akan hak-hak dasar yang harus dilindungi demi tegaknya etika kemanusiaan; dan
4.      pemisahan Negara dan masyarakat, yang menekankan paham bahwa Negara dan masyarakat bukanlah merupakan entitas yang sama, tetapi berbeda dan masing-masing harus bersifat otonom.
Konsep masyarakat madani di lingkungan muhammadiyah memiliki padangan dengan konsep masyarakat utama. Konsep masyarakat utama ( al-mujtama’ al-fadhilah ) di lingkungan muhammadiyah secara formal tercantum dalam anggaran dasar muhammadiyah hasil muktamar ke-41 pada 1985 di Surakarta. Konsep tersebut dalam konteks situasional lebih merupakan akomodasi dari konsep sebelumnya, yaitu konsep “masyarakat islam yang sebenar-benarnya”, ketika muhammadiyah bersama organisasi kemasyarakatan lainnya dipaksa oleh rezim soeharto untuk mencantumkan asas pancasila di dalam anggaran dasar organisasinya. Karena itu, konsep masyarakat utama ditambah dengan kata-kata “ yang adil dan makmur”  dan diridhai Allah subhanahu wata’ala”. Kendati disusun oleh sebagai langkah akomodatif dan darurat, ternyata istilah “masyarakat utama” sebenarnya merupakan sebuah pilihan yang cerdas dan kontekstual dengan karakter sosiologis masyarakat Indonesia yang plural, dan pergaulan dunia yang makin mengarah ke inklusivitas. Meskipun di belakang hari, yaitu pada muktamarke-44 pada 2000 di Jakarta, muhammadiyah mengkuti arus umum lagi untuk kembali ke konsep asas islam dengan rumusan masyarakat islam yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dipakai sejak 1950.hadikusuma ( 1995: 23) menyamakan konsep masyarakat utama dengan “ masyarakat islam yang sebenar-benarnya” ialah “ suatu masyarakat di mana keutamaan, kesajteraan, dan kebahagiaan luas-merata”. Konsep masyarakat islam atau masyarakat utama di lingkungan muhammadiyah tersebut sering disamakan atau dirujuk pada konsep khaira ummah, yang berasal dari Q.S ali imran: 110. Masyarakat utama sebagai model dari masyarakat muslim belum dirumuskan secara lebih rinci beserta perangkat-perangkat operasionalnya, sehingga konsep ini masih bersifsat multi-interpretatif. Kendati tidak dinyatakan secara langsung, azhar basyir (1995: 4-6) menyebut masyarakat dalam binaan islam sebagai masyarakat rabbani, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      masyarakat yang dibina dengan ajaran wahyu dalam wujud sebaik-baik umat;
2.      masyarakat berperi kemanusiaan sebagai perwujudan dari nilai-nilai dasar kesatuan umat manusia; dan
3.      masyarakat pengabdi Tuhan yang memiliki watak dasar beribadah kepada Allah.

Dengan menekan subjek dan sifatnya yang lebih normative, Azhar basyir (1983: 30) menggunakan istilah “masyarakat muslim” sebagai pedoman dari masyarakat dalam binaan islam (masyarakat islam), yakni masyarakat yang terbentuk atas dasar wahyu ilahiyah, bukan hasil pemikiran manusia atau perkembangan evolisionistik yang alamiah, yaitu masyarakat rabbani sebagaimana konsep al-quran tentang khaira ummah (Q.S Ali imran: 110).

Faktor-faktor pendukung yang menjadi kekuatan bagi tegaknya masyarakat muslim, menurut Basyir, ialah:
a.       akhlak dan nilai-nilai luhur yang diserukan islam;
b.      tata aturan yang mengatur hubungan antar-individu dalam berbagai macam aspek kehidupan;
c.       pelaksanaan tata aturan tersebut dalam kehidupan masyarakat, dan
d.      adat-istiadat atau tradisi-tradisi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran islam.

Sedangkan masyarakat muslim atau masyarakat islam sebagai umat terbaik memiliki ciri-ciri dasar sebagai berikut:
1.      mereka berbeda dengan umat lain dalam hal iman, mabda’, fikih, dan aqidah,yang oleh sebagian prang disebut ideologi, yang menjadi titik tolak aqidah;
2.      mereka adalah umat yang bersaudara dalam al-Dien ketika damai maupun perang, yang menjadi titik tolak dakwah dan harakah,
3.      mereka umat yang oleh Allah diberi manhaj yang lengkap dan sempurna untuk kehidupan yang lurus, yang memuat prinsip-prinsip kemaslahatan hidup manusia dan sesuai dengan fitrah mereka, yang menjadi titik tolak manhaj (Mahmud, 1996: ix).

Ibnu katsir merujuk konsep khaira ummah pada umat Nabi Muhammad, yang juga memiliki karakteristik sebagai ‘’ummatun wasatha” dan “syuhada ‘ala an-nas”, yang secara empirik dapat diwujudkan oleh kaum muslim pasca-rasullah hingga akhir zaman. Dengan demikian, istilah “masyarakat madani”,”masyarakat islam”,”masyarakat utama”,”masyarakat muslim”, dan istilah sejenis lainnya dalam hal ini mungkin dapat dibedakan dari civil society secara konseptual memang memiliki system nilai yang langsung diletakkan atau dipertautkan dengan nilai-nilai nirmatif islam. Istilah-istilah tersebut juga memiliki kaitan kesejaraan dengan realitas emprik yang pernah dibangun oleh nabi Muhammad pada masa madinah.istilah-istilah itu memuat struktur (system social) yang didalamnya terkandung dimensi habluminallah dan habluminnas (Q.S Ali imran (3): 112), dan juga nilai-nilai aqidah,ibadah,akhlak,dan mu’ammalah-duniawiyah sebagai satu kesatuan.

Dalam konteks kesejarahan, baik konsep masyarakat madani, masyarakat utama, khaira ummah, masyarakat muslim, dan, lebih tegas lagi masyarakat islam merujuk pada tipe ideal masyarakat madinah di zaman nabi Muhammad. Istilah-istilah tersebut dapat merujuk pada karya klasik Aa-farabi yang menyebut konsep al-madinah Aa-fadhilah,  yang dalam literature Indonesia sering diterjemahkan dengan istilah Negara madinah. Al-farabi merumuskan konsep al-madinah al-fadhilah sebagai model Negara ideal yang memiliki dan mencerminkan segala keutamaan berdasarkan hukum-hukum Allah.      

C.    AKTUALISASI MASYARAKAT MADANI
Kehadiran masyarakat manapun, selain terikat pada teritorial dimana mereka hidup, selain soisologis yang membentuk diri untuk membentuk kolektif yang mengikat kehidupan bersama. Dalam pandangan Giddens(1990:32) masyarakat dapat di katakan sebagai a socialsystemof interrelationship which connects invidual together. Masyarakat sebagai suatu sistem interaksi dari kesatuan hidup bersama senantiasa terstruktur (pola) yang di ikat oleh sistem pengetahuan kolektif yang menjadi pola tingkah laku bersama dalam menanggapi lingkungan kehidupannya, yang di kenal sebagai kebudayaan.
Dengan pendektan yangmenempatkan konsep neara islam dan model masyarakat cita-citakan. Sebagai fokus kajian, muzaffari (1994;1-9) mengindetifikasikan beberapa perspektif teori sebagai berikut:


-                Pertama, perspektif filosofi: Yang menjelaskan beberapa model negara ideal dengan tipe pemimpin yang bijaksana sebegai pilihan, sebagaimana pandangan teori organik dan otopia plato dan arititoles, yang di perkenalkan oleh Al-farabi (872-950) dengan model negara madinah al-fadhilah.

-          Kedua, perspektif administratif: Pandangan ini lebih baik menekankan fungsi lembaga kepimpinan, yakni khalifah, dengan syarat, dan aturan dan hierarki yang di konstrusikan sebagaimana di kemukakan dalam karya klasik Al-mawardi (974-1058).
-          Ketiga, perspektif dogmatik : Yakni pandangan yang mementingkan dasar dasar moral dalam membangun masyarakat, bangsa, negara sebagaimana diperkenalkan oleh Al-Ghazali (1058-1111)
-          Keempat, perspektif soisologis: Pandangan yang menjelaskan kehidupan masyarakat dan negara sebagai fenomena kemanusian yang bersifat empiris seperti di perkenalkan Ibn Khaldul(1332-1406)


Dalam menjelaskan dan pemandangan konsep masyarakat madani , tampaknya seperti terjadi di indonesia masih terdapat pula beberapa pemahaman. Disatu pihak, terdapat pandangan yang lebih bercorak “idealis formalis’’ dengan mempertautkan masyarakat madani dengan masyarakat islam bercorak syariat dan lebih jauh lagi dalam proyeksi negara islam sebagai  repsentasi dari negara madinah zaman Nabi. Pendekatan ideologis dalam di masukan kedalam perspektif yang disebutpertamaini. Di pihak lain, terdapat pulaorang yang berpandangan modern,yang meletakan masyarkat madani sebagai proses sosial yang ebrsifat tranmormatif dengan nilai nilai islam sebagai landasan etik sebagai terbentuknya masyarakat yang di cita-citakan. Di antara kedua pandangan tersebut terdapat pula sebagaian kalangan yang lebih mendekati perspektif sekularis, yang melepas cita cita sosial muslim dari formalisme dan etika islam dari simbol simbol publik. Mereka membiarkan masyrakat muslim tumbuh dengan hukum-hukum sosial universal  dan mendomestikasikan nilai-nilai agama sebagai ideolis semata mata sebagai urusan pribadi dan tidak boleh menjadi domain publik.

Berbagai perspektif  dan pendekatan tersebut harus terus bergulir dan menetukan corak fraksis dari gerakan islam menawarkan model masyrakat madani dengan berbagai konseptual, ideologis, dan kepentingan konteksual yang meyertainya. Semua itu adanya sebagai corak dari plaralitas pemeikiran dan gerakan islam termasuk indonesia kendati dapat menjadi masalah sendiri dalam banguanan etentitas kaum muslim di negeri ini.
Berbeda dengan Al-Mawardi yang lebih mengutamakan khalifah dan kekhalifahan, Al-Farabi tidak menempatkan khalifah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, tetapi menempatkannya sebagai pelaksana undang-undang dari Allah. Maka, sebenarnya konsep Al-Farabi itu lebih dekat dengan “bangunan masyarakt” ketimbang “kekuasaan negara”, atau setidak-tidaknya menempatkan khalifah sebagai pemegang kedaulatan yang bersifat teknis. Dalam teori politik Islam,  pemikiran atau konsep Al-Farabi ini sering dimasukkan kedalam madzhab utopis, yang diilhami oleh pemikiran Plato tentang city-state (negara kota).
Negara Madinah sendiri dalam telah pemikir muslim masih bersfiat mult-tafsir atau, setidak-tidaknya, dua-tafsir. Di satu pihak, negara Madinah dipandang sebagai model atau bentuk negara dalam arti yang sesungguhnya, sebagaimana konsep negara modern  dengan struktur kekuasaannya yang kaku dan otoritatif dan kewenegaraan yang sangat besar, yang oleh Weber bahkan disebut berhak melakukan pemaksaan secara fisik kepada para warga negaranya. Dalam kaitan ini, kemudian mekarlah paham bentuk sejarah Nabi di Madinah itu, sebagaimana banyak dianut oleh kaum Muslim di sebagian dunia Islam.
Di Indonesia, konsep negara Islam pun pernah mekar terutama pada era 1940-an, yang semangat dan pahamnya pun masih dianut oleh sekelompok Muslim sampai sekarang. Bahkan, konsep Masyumi tentang model baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur oleh sejumlah orang dianggap sebagai model negara Islam atau setidak-tidaknya model masyarkat Islam yang becorak ideologis.
Sementara di pihak lain, tumbuh pula pandangan yang tidak melihatnya sebagai negara dalam pengertian dan bentuknya yang rigid, tetapi sebagai bentuk masyarakat, atau secara khusus masyarakat politik. Ar-Raziq termasuk pemikir Muslim yang menganut pandangan kedua ini, kendati pandangan-pandangannya yang lain kadang tampak sangat kenegaraan sebagai berikut:
“Setelah Nabi Wafat, umat Islam mulai berhadapan langsung dengan persoalan otoritas negara. Stuktur politik yang dibangun Nabi adalah unik dalam sejarah. Berbeda dengan otoritas negara konvensiaonal yang kebahasaannya hampir mutlak, otoritas politik yang di bangun Nabi merupakan asosiasi sukarela. Bukan hanya keanggotaannya bersifat sukarela. Tetapi juga menuntut risiko personal yang berat. Partisipasi dalam gelanggang publik (seperti ekspedisi miiter atau pembayaran iuran) juga bersifat sukarela. Negara tidak mempunyai cara untuk memaksakan partisipasi . Salah satu sanksi terhadap mereka yang diragukan loyalitasnya adalah menolak keterlibatan mereka dalam tugas-tugas publik. Nabi diperintahkn untuk menolak pembayaran zakat (sedekah) dari dermawan yang tidak ikhlas, dan juga melarang mereka yang menolak berapartisipasi dalam misi tertentu untuk bergabung dalam ekspedisi-ekspedisi berikutnya. Sanksi-sanksi ini bersifat moral dan sangat jauh dari cara-cara konvesional pemaksaan negara.”

D.    PENGEMBANGAN NILAI – NILAI KEWARGAAN
Baik konsep maysarakat maupun civil society memerlukan prasyarat mentalits berupa dukungan nilai-nilai yang tumbuh dalam pikiran dan tindakan anggota masyarakat dalam wujud nilai nilai kewargaan. Nilai-nilai kewargaan yang di maksud ialah segala sesuatu yang di pandang berharga atau utama yang menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana cita-cita dari masyarakat madani.
4 prasyarat bagi terbentuknya civil soecity yaitu:
1.      Kemerdekaan berserikat serta mandiri dari negara
2.      Adanya ruang publik yang memberikan kebebasan bagi siapa saja dalam mengartikulasikan isu-isu poliik
3.      terdapat gerak-gerakan kemasyrakat yang berdasar pada nilai-nilai budaya tertentu
4.      terdapat kelompok inti yang mengakar dalam masyarkat yang mengerakan masyarakat dan melakukan modernisasi sosial-ekonomi
Namun apapun masalah dan dinamika yang di hadapi dalam menggagas dan menawarkan gerakan masyarakat madani mempeoleh momentum yang dan tumbuh fenomena baru, fenomena baru tersebut antara lain :
a.       makin meluas proses dan tuntunan akan minimalisasi fungsi negara dan instisusi monolitik seperti militer
b.      reformasi berupa demokratis, penegakan hak asasi manusia, pembentukan pemertintahan yang bersih, supremasi hukum, demokratisasi ekonomi, dan agenda reformasi
c.       ancaman disintegrasi nasional dan makin kuatnya tuntunan untuk menata kembali kehidupan bermaysarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah integrasi nasional baru yang lebih awet dan rasional
d.      masikn luas kesadaran dan pelembagaan gerakan gerakan swadaya masyarakat melalui organisasi kemasyarakat (ORMAS) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)
e.       makin derasnya tuntunan dan gerakan ke arah pemberdayan rakyat di hadapan negara sebagai bagian dari reformasi dan demokratisasi yang lebih kokoh dalam semangat membanggun civil society
f.       era otonomi daerah yang akan menimbulkan perubahan perubahan sosial kultur baru dengan sejumlah masalah yang menyertainya
g.      makin meluasnya kesadaran globalisasi yang disertai tuntunan membangun  peradaban global yang beradab dan  beperike-manusiaan dalam tatanan ideal  masa depan (the ideal commonuity of the future) terdiri atas empat element :
1)      one standard : prisnsip mengutamakan kebijakan untuk hidup baik dan menjunjung tinggi hukum serta keteraturan
2)      one heart : visi dan arahan untuk menempatkan nilai luhur yang menyatu dalam hati nurani dan mementingkan keputusan dam kemampuan membawa diri dalam hidup
3)      one mind : yang mengarah pada tujuan, misi, dan kesatuan, bukan uniformitas, keberegaman dan bukan keseragaman
4)      economic equality:tidak adanya kemiskinan dalam kehidupan manusia

Masyarakat madani sebagai format yang di idam-idamkan memerlukan sosialisasi nilai dalam kehidupan maysrakat luas selain sebagai upaya polotik melalui perubahan perubahan struktual di tinkat negara. Sosialisasi tersebut dimaksudkan agar setiap anggota mayarakat selaku warga negara benar benar menyadari hak dan kewajiban secara otonom dan penuh tanggungjawab demi tercipta tataan menyarakat.
Sosialisasi nilai-nilai kewargaan dari maysrakat madani dapat dilakukan melalui unit-unit prantara sosial seperti keluarga, hubungan-hubungan sosial, pendidikan, media masa. Selain melalui institusi politik negara. Sosiliasasi nilai-nilai kewargaan secara lebih fokus dapat di kembangkan komunitas lokal seperti masyarakat smin, badui, suku-suku di pedalaman dan lain-lain.
Sosialisasi nilai-nilai kewargaan juga di program untuk maysrakat pedesaan dan perkotaan dan di kembangkan untuk komunitas etnik atau suku-bangsa di berbagai daerah di indonesia.
Kebudayaan terdiri atas seperangkat nilai dan norma yang menjadi pedoman bertingkah bertingkah laku bagi setiap anggota masyarakat, bahkan lebih konkret lagi berupa hal – hal fisik yang dibangun secara bersama yang dikenal sebagai wujud kebudayaan fisik yang memiliki makna-makna simbolik.
Kebudayaan berfungsi sebagai system kesatuan makna, pendidikan, integrasi social, identitas diri, dan hidup beradab yang bersemi dalam seluruh alam pikiran kolektif anggota masyarakat.
Masyarakat sebagai system social yang menyeluruh setidak-tidaknya harus memiliki komponen dasar yang membentuk kesatuan, yaitu kebudayaan sebagai system nilai kolektif, struktur social sebagai institusi yang mewadahi interaksi social secara terpola, system kepribadian yang berwujud identitas atau cirri-ciri yang melekat dalam mentalitas para anggotanya, lingkungan, dan factor fisik yang menjadi penopang kehidupannya.
Factor kelembagaan termasuk hal penting untuk kepentingan membangun masyarakat madani sebagai system social muslim. Sardar (1986:141), misalnya, memperkenalkan hierarki system soasial muslim dalam pola lingkaran yang dimulai dari subsistem terkecil yaitu individu muslim, keluarga muslim, lingkungan muslim, kota muslim, dan, lebih luas lagi, umat muslim. Bagi Sardar, system muslim (moslem system) merupaan suatu system holistic yang menyangkut pandangan dunia muslim yang melibatkan rakyat, budaya, peradaban, area, ajaran-ajaran, dan nilai-nilai Islam.
Masyarakat Islam sebagai suatu kesatuan menurut As-Siba’I (1987:181) memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1.      System masyarakat muslim adalam satu system kehidupan masyarakat yang berdaya maju, bergerak dan aktif, modern dan maju, serta bukan masyarakat zahid dan darwisy yang memilih hidup melarat sebagaimana paham sufiyah;
2.      System masyarakat muslim mengakui dan menjamin hak asasi manusia dan perundang-rundangan sebagai jaminan social, membasmi kemelaratan, penyakit kebodohan, pengecut, dan perasaan rendah diri;
3.      Taraf kehidupan menurut system masyarakat Islam itu tinggi dan bermutu;
4.      System msyarakat muslim itu cocok untuk semua orang muslim dan non-muslim, karena dasar-dasar dan hak-hak menurut system ini berlaku bagi semua penduduk tanpa pengecualian;
5.      Sisitem masyarakat Islam mengikutsertakan rakyat bersama pemerintah dalam pelaksanaan urusan umum;
6.      Sisitem masyarakat Islam mudah untuk dibentuk, tidak kaku, dapat dipraktekan setiap waktu, serta sesuai dengan perkembangan zaman dan gerak kemajuan;
7.      System masyarakat Islam merupakan gerak praktis dan undang-undang yang harus diturutinya tidak ubahnya seperti undang-undang pemerintahan, sehingga bukan ide semata; dan
8.      System masyarakat Islam benar-benar merupakan dasar pokok dan dasar kerja bagi pemerintah dan Negara Islam sejak berdirinya pada abad ke-7.

Banyak model kontruksi yang dapat dikembangkan untuk mewujudan masyarakat madani sebagai system masyarakat Muslim. Ibn Khaldun, misalnya, memperkenalkan konsep ‘umran’ untuk menggambarkan suatu peradaban yang dinamis, selalu berkembang, dan operasional.
Di Malaysia yang lebih moderat, proyek membangun peradaban muslim selain melalui Negara juga mulai tumbuh melalui usaha-usaha kelompok masyarakat terutama di bidang ekonomi yang disebut dengan proyek ekonomi Islam.
System politik madani, menurut Azra (1999:3), ialah system politik yang civilized (berperadaban), yang aktualisasinya berwujud system politik demokratis berdasarkan check and balance antara Negara (state) dan masyarakat (society), berkeadilan, bersandar pada kepatuhan, dan tunduk kepada hukum (law and order).











BAB III
KESIMPULAN

A.    KESIMPULAN
Pendidikan kewarganegaraan adalah konsep multi dimensional yang dimaksudkan untuk meletakkan dasar-dasar pengetahuan tentang masyarakat politik, tentang persiapan yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam proses politik secara menyeluruh, dan secara umum tentang apa definisi dan bagaimana menjadi warga negara yang baik.
      Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahna yang signifikan. Selain itu juga kita dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini.
      Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia yang ada dimasyarakat, khususnya diindonesia. Potensi yang adda didalam diri manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani.

B.     SARAN
Demikianlah pembahasan tentang masyarakat madani yang kami paparkan, masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan didalamnya, semoga para pembaca, pendengar, dan guru pembimbing dapat memberikan kritik dan sarannya yang bersifat membangun demi kesempurnaan penyusunan makalah berikutnya.







DAFTAR PUSTAKA

As-siba’i, Musthafa. 1987. Sistem Masyarakat Islam (disadur oleh A malik Ahmad). Jakarta : Pustaka Hidayah.
Azra, Azyumardi.1999. Menuju Masyarakat Madani : gagasan, fakta, dan tantangan. Bandung : Rosdakarya
Basyir, Ahmad Azhar.1983. Citra Masyarakat Muslim. Yogyakarta : Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Islam Indonesia.
Anonim. Tanpa Tahun. Konsepsi dan Strategi. Jakarta : Lembaga Pengkajian Pengembangan PP Muhammadiyah.
Culla, Adi Suryadi. 1999. Masyarakat Madani : Pemikiran, Teori, dan relevasinya dengan Cita-cita Reformasi. Jakarta : Rajawali
Djarwani handikusuma.1995. Masyarakattama dalam M.Yunan Yusuf dkk. Masyarakat Utama : konsepsi dan Strategi. Jakarta : Lembaga Pengkajian dan pengembangan PP Muhammadiyah.

4 komentar: