MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
"NILAI-NILAI DEMOKRASI"
DISUSUN
OLEH : KELAS
A.1
KELOMPOK :
1 (SATU)
NAMA : ADI JAZA FAJAR UTAMA
AGNES
PELITA SARI
AMELIA
TRI WULANDARI
ANDIKA
PUTRA
ANDY
FALANDYKA
DOSEN :
Drs. SAZILI, M.Pd
AKADEMI FARMASI AL-FATAH BENGKULU
TAHUN 2014-2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Cita-cita untuk
mewujudkan masyarakat madani meniscayakan suatu upaya yang serius dan
sistematis. Masyarakat madani bukan sekadar sistem, tetapi juga merupakan
proses. Oleh karena itu, mewujudkan masyarakat madani perlu proses yang
sistematis. Dan salah satu proses yang paling strategis ialah melalui
pendidikan.
Masyarakat madani
merupakan konsep yang kompleks karena did
alamnya terkandung konsep relasi-relasi
sosial yang beradab yang hendak ditransformasikan dalam kehidupan sosial
sehari-hari. Didalamnya terdapat konsep masyarakat, hukum, demokrasi,
pemerintahan dan kenegaraan, keterbukaan, perubahan sosial. Kompleksitas konsep
masyarakat madani ini perlu ditransformasikan dalam kehidupan masyarakat
melalui pendidikan yang sistematis.
Salah satu cara yang
paling strategis untuk mentrasformasikan konsep masyarakat madani secara
apikatif dalam dinamika kehidupan sosial ialah menyelenggarakan pendidikan kewarganegaraan
(civic education). Dalam konteks Indonesia, sebuah negara yang sedang beranjak
menuju demokrasi, pendidikan kewarganegaraan sangat penting diberikan kepada
warga masyarakat untuk memaknai dinamika perubahan sosial yang berkembang di
negeri ini, baik dalam tingkat lokal, nasianal, regional, dan global.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
urgensi pendidikan kewarganegaraan di indonesia?
2.
Bagaimana
konsep masyarakat madani?
3. Bagaimana
aktualisasi masyarakat madani?
4. Bagaimana
pengembangan nilai – nilai kewargaan?
C. TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui urgensi pendidikan kewarganegaraan di indonesia?
2.
Untuk
mengetahui konsep masyarakat madani?
3. Untuk mengetahui
aktualisasi masyarakat madani?
4. Untuk mengetahui
pengembangan nilai – nilai kewargaan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. URGENSI
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA
Pendidikan
kewarganegaraan adalah konsep multi dimensional yang dimaksudkan untuk
meletakkan dasar-dasar pengetahuan tentang masyarakat politik, tentang
persiapan yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam proses politik secara
menyeluruh, dan secara umum tentang apa definisi dan bagaimana menjadi warga
negara yang baik.
Penanaman
nilai-nilai kewargaan (civic values) melalui dunia pendidikan agaknya semakin
menemukan momentumnya dalam transisi menuju demokrasi yang sedang berlangsung
di Indonesia. Sebab, cara paling strategis untuk “mengalami demokrasi” ialah
menyelenggarakan pendidikan kewarganegaraan yang didalamnya terkandung upaya
sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, dan budaya demokrasi.
Penyebaran nilai-nilai kewarganegaraan melalui pendidikan semakin urgen
manakala bangsa ini mengalami krisis multi-dimensional yang berkepanjangan
ditengah transisi sosial-politik menuju demokrasi. Urgensi ini terletak pada
harapan terhadap generasi mendatang yang tumbuh dan berkembang melalui rahim
pendidikan.
Urgensi dunia
pendidikan dalam transisi sosial-politik menuju demokrasi terletak pada
perannya dalam mempersiapkan anak didik mengadapi fenomena perubahan sosial
pada tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional. Penyeragaman
pendidikan secara nasional (untuk kepentingan politik kekuasaan) dimasa lalu menyebabkan dunia pendidikan jadi
modul dan tidak antisipatif terhadap problem-problem lokal,disamping juga
kurang antisipatif terhadap perubahan sosial dalam skala global yang mengusung
isu-isu pluralisme, demokrasi, dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, kini
dunia pendidikan benar-benar dituntut perannya untuk menumbuhkan dan
mengembangkan budaya madani (civic culture) di kalangan anak-anak muda yang
sedang tumbuh dan berkembang. Menumbuhkan dan mengembangkan budaya madani
merupakan modal dasar untuk mewujudkan dan menegakkan demokrasi di
tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Mengingat
Indonesia yang sedang tumbuh menuju demokrasi, peran bidang pendidikan semakin
penting. Sebab, menumbuhkan dan mengembangkan budaya madani membutuhkan upaya
yang sistematis dan integral agar generasi muda yang tumbuh dan berkembang
dalam rahim pendidikan dapat benar-benar “mengalami demokrasi.” Setelah tahu
dan sadar tentang pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan nilai-nilai yang
diperlukan untuk menyangga, memelihara, dan melestarikan demokrasi dan
masyarakat madani.
B. KONSEP
MASYARAKAT MADANI
Istilah
“masyarakat madani” (al-mujtama’ al madani), selain menjadi isu penting dalam
gerakan islam di Indonesia, pada saat yang sama telah menjadi wacana akademik yang
cukup menarik dikampus-kampus. Pada tingkat konseptual masih diperdebatkan
apakah istilah “masyarakat madani” itu sama (identik, sepadan) dengan konsep
“masyarakat islam”, “masyarakat utama” dan lebih luas lagi dengan “civil
society” (masyarakat warga, masyarakat sipil, masyarakat beradab) yang telah
lama diperbincangkan dalam wacana akademik.
Perwujudan
masyarakat madani di Indonesia memerlukan sebuah proses yang sistematis melalui
pendidikan dengan menumbuhkan budaya madani di kalangan anak-anak muda yang
sedang tumbuh dan berkembang di dunia pendidikan. Di sinilah letak urgensi
pendidikan kewarganegaraan dalam cita-cita perwujudan masyarakat madani.
Istilah “masyarakat madani”,
menurut sementara sumber,diperkenalkan oleh Dr. Anwar Ibrahaim, mantan deputi
perdana menteri Malaysia. Dalam pidato kebudayaannya pada forum festival
istiqlal pada 1995 di Jakarta, Anwar Ibrahim menyatakan, “justru islamlah yang
pertama kali memperkenalkan kepada kita di rantau ini kepada cita-cita keadilan
social dan pembentukan masyarakat madani, yaitu civil society yang bersifat demokratis “ (Hamiwanto dan said,2000:1).
Syed Muhammad naquid al-attas
mengatakan bahwa konsep masyarakat madani berasal dari kosakata bahasa arab
yang berarti: pertama, “masyarakat
kota” dan kedua, ”masyarakat yang
berperadaban”, sehingga masyarakat madani sama dengan civil society, yaitu masyarakat yang menunjang tinggi nilai-nilai
peradaban(ibid.: 2).
Pada umumnya, konsep atau istilah
masyarakat madani disamakan atau sepadan dengan civil society, padanan kata lainnya yang sering digunakan ialah
masyarakat warga atau masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat
beradab, atau masyarakat berbudaya (culla, 1993: 3).
Di Malaysia dan kemudian di
Indonesia, istilah “masyarakat madani” diterjemahkan dari istilah “civil society”, yang merujuk pada
konsep klasik dari Cicero pada era yunani kuno, “cilivis societas”, yaitu komunitas politik yang beradab, dan
didalamnya termasuk masyarakat kota yang memiliki kode hukum tersendiri.
Masyarakat madani merujuk pada masyarakat yang pernah berkembang di madinah
pada zaman nabi Muhammad, yang memiliki
tammaddun (peradaban). Masyarakat madani ialah masyarakat yang mengacu pada
nilai-nilai kebijakan umum, yang disebut al-khair
(Rahardjo, 1999: 152).
Gellner (1995: 2) menunjukkan
konsep civil society sebagai
masyarakt yang terdiri atas berbagai insititusi non-pemerintah yang otonom dan
cukup kuat untuk mengimbangi negara. Kemampuan mengimbangi yang dimaksud adalah
daya untuk membendung dominasi Negara, kendati tidak mengingkari Negara. Konsep
civil society tersebut dipopulerkan
oleh Adam ferguson (1723-1816) untuk melukiskan sejarah masa lampau masyarakat
dan peradaban barat yang otonom. Konsep
tersebut terus dikembangkan oleh para pemikir barat kontemporer, hingga lahirnya
Negara-negara baru ddi eropa timur. Bagi sebagian kaum muslim, istilah ini
dikonotasikan barat dan secular, kendati akar sejarahnya, yakni civil society, juga memiliki dasar pada
“civitas dei” ( kota Tuhan). Dalam
kajian Seligman sebagaimana disarikan oleh Culla (ibid.: 63), lahirnya gagasan civil society di dunia baratitu diilhami
oleh empat pemikiran utama,yaitu:
1. Tradisi
hukum kodrat atau
hukum alam,yang
meletakkan pentingnya peranan akal dalam kehidupan individu dan masyarakat
setelah kejatuhan Negara kota sebagaimana disuarakan Cicero;
2. Doktrin Kristen prostetan, yang intinya
menyatakan bahwa tatanan masyarakat merupakan cerminan dari tatanan ketuhanan;
3. Paham kontrak social,bahwa masyarakat
atau Negara lahir karena kesepakatan bersama akan hak-hak dasar yang harus
dilindungi demi tegaknya etika kemanusiaan; dan
4. pemisahan
Negara dan masyarakat, yang menekankan paham bahwa Negara dan masyarakat
bukanlah merupakan entitas yang sama, tetapi berbeda dan masing-masing harus
bersifat otonom.
Konsep masyarakat madani di lingkungan muhammadiyah memiliki padangan dengan konsep masyarakat utama.
Konsep masyarakat utama ( al-mujtama’
al-fadhilah ) di lingkungan muhammadiyah secara formal tercantum dalam
anggaran dasar muhammadiyah hasil muktamar ke-41 pada 1985 di Surakarta. Konsep
tersebut dalam konteks situasional lebih merupakan akomodasi dari konsep
sebelumnya, yaitu konsep “masyarakat islam yang sebenar-benarnya”, ketika
muhammadiyah bersama organisasi kemasyarakatan lainnya dipaksa oleh rezim
soeharto untuk mencantumkan asas pancasila di
dalam anggaran dasar organisasinya. Karena itu, konsep masyarakat utama
ditambah dengan kata-kata “ yang adil dan makmur” dan diridhai Allah subhanahu wata’ala”. Kendati disusun oleh sebagai langkah
akomodatif dan darurat, ternyata
istilah “masyarakat utama” sebenarnya merupakan sebuah pilihan yang cerdas dan
kontekstual dengan karakter sosiologis masyarakat Indonesia yang plural, dan pergaulan dunia yang makin mengarah ke
inklusivitas. Meskipun di belakang hari, yaitu pada muktamarke-44 pada 2000 di
Jakarta, muhammadiyah mengkuti arus umum lagi untuk kembali ke konsep asas
islam dengan rumusan masyarakat islam yang sebenar-benarnya sebagaimana yang
dipakai sejak 1950.hadikusuma ( 1995: 23) menyamakan konsep masyarakat utama
dengan “ masyarakat islam yang sebenar-benarnya” ialah “ suatu masyarakat di
mana keutamaan, kesajteraan, dan kebahagiaan luas-merata”. Konsep masyarakat
islam atau masyarakat utama di lingkungan muhammadiyah tersebut sering
disamakan atau dirujuk pada konsep khaira ummah, yang berasal dari Q.S ali imran: 110. Masyarakat utama sebagai
model dari masyarakat muslim belum dirumuskan secara lebih rinci beserta
perangkat-perangkat operasionalnya, sehingga konsep ini masih bersifsat multi-interpretatif. Kendati tidak dinyatakan secara langsung,
azhar basyir (1995: 4-6) menyebut masyarakat dalam binaan islam sebagai
masyarakat rabbani, yang mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
1. masyarakat
yang dibina dengan ajaran wahyu dalam wujud sebaik-baik umat;
2. masyarakat
berperi kemanusiaan sebagai perwujudan dari nilai-nilai dasar kesatuan umat
manusia; dan
3. masyarakat
pengabdi Tuhan yang memiliki watak dasar beribadah kepada Allah.
Dengan menekan subjek dan sifatnya yang
lebih normative, Azhar basyir (1983: 30) menggunakan istilah “masyarakat
muslim” sebagai pedoman dari masyarakat dalam binaan islam (masyarakat islam),
yakni masyarakat yang terbentuk atas dasar
wahyu ilahiyah, bukan hasil pemikiran
manusia atau perkembangan evolisionistik yang alamiah, yaitu masyarakat rabbani sebagaimana konsep al-quran
tentang khaira ummah (Q.S Ali imran:
110).
Faktor-faktor pendukung yang menjadi
kekuatan bagi tegaknya masyarakat muslim, menurut Basyir, ialah:
a. akhlak
dan nilai-nilai luhur yang diserukan islam;
b. tata
aturan yang mengatur hubungan antar-individu dalam berbagai macam aspek
kehidupan;
c. pelaksanaan
tata aturan tersebut dalam kehidupan masyarakat, dan
d. adat-istiadat
atau tradisi-tradisi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran
islam.
Sedangkan masyarakat muslim atau
masyarakat islam sebagai umat terbaik memiliki ciri-ciri dasar sebagai berikut:
1. mereka
berbeda dengan umat lain dalam hal iman, mabda’, fikih, dan aqidah,yang oleh
sebagian prang disebut ideologi, yang menjadi titik tolak aqidah;
2. mereka
adalah umat yang bersaudara dalam al-Dien
ketika damai maupun perang, yang menjadi titik tolak dakwah dan harakah,
3. mereka
umat yang oleh Allah diberi manhaj
yang lengkap dan sempurna untuk kehidupan yang lurus, yang memuat
prinsip-prinsip kemaslahatan hidup manusia dan sesuai dengan fitrah mereka, yang menjadi titik tolak
manhaj (Mahmud, 1996: ix).
Ibnu katsir merujuk konsep khaira ummah pada umat Nabi Muhammad,
yang juga memiliki karakteristik sebagai ‘’ummatun
wasatha” dan “syuhada ‘ala an-nas”,
yang secara empirik dapat diwujudkan oleh kaum muslim pasca-rasullah hingga
akhir zaman. Dengan demikian, istilah “masyarakat madani”,”masyarakat
islam”,”masyarakat utama”,”masyarakat muslim”, dan istilah sejenis lainnya
dalam hal ini mungkin dapat dibedakan dari civil
society secara konseptual memang memiliki system nilai yang langsung
diletakkan atau dipertautkan dengan nilai-nilai nirmatif islam. Istilah-istilah
tersebut juga memiliki kaitan kesejaraan dengan realitas emprik yang pernah
dibangun oleh nabi Muhammad pada masa madinah.istilah-istilah itu memuat
struktur (system social) yang didalamnya terkandung dimensi habluminallah dan habluminnas (Q.S Ali imran (3): 112), dan juga nilai-nilai
aqidah,ibadah,akhlak,dan mu’ammalah-duniawiyah
sebagai satu kesatuan.
Dalam konteks kesejarahan, baik konsep
masyarakat madani, masyarakat utama,
khaira ummah, masyarakat muslim, dan, lebih
tegas lagi masyarakat
islam merujuk pada tipe ideal masyarakat madinah di zaman nabi Muhammad.
Istilah-istilah tersebut dapat merujuk pada karya klasik Aa-farabi yang
menyebut konsep al-madinah Aa-fadhilah, yang dalam literature Indonesia sering
diterjemahkan dengan istilah Negara
madinah. Al-farabi merumuskan konsep al-madinah
al-fadhilah sebagai model Negara ideal yang memiliki dan mencerminkan
segala keutamaan berdasarkan hukum-hukum
Allah.
C.
AKTUALISASI
MASYARAKAT MADANI
Kehadiran masyarakat manapun, selain
terikat pada teritorial dimana mereka hidup, selain soisologis yang membentuk
diri untuk membentuk kolektif yang mengikat kehidupan bersama. Dalam pandangan Giddens(1990:32)
masyarakat dapat di katakan sebagai a socialsystemof
interrelationship which connects invidual together. Masyarakat sebagai
suatu sistem interaksi dari kesatuan hidup bersama senantiasa terstruktur (pola)
yang di ikat oleh sistem pengetahuan kolektif yang menjadi pola tingkah laku
bersama dalam menanggapi lingkungan kehidupannya, yang di kenal sebagai
kebudayaan.
Dengan pendektan yangmenempatkan
konsep neara islam dan model masyarakat cita-citakan. Sebagai fokus kajian, muzaffari
(1994;1-9) mengindetifikasikan beberapa perspektif teori sebagai berikut:
-
Pertama,
perspektif filosofi: Yang menjelaskan
beberapa model negara ideal dengan tipe pemimpin yang bijaksana sebegai
pilihan, sebagaimana pandangan teori organik dan otopia plato dan arititoles, yang
di perkenalkan oleh Al-farabi (872-950) dengan model negara madinah
al-fadhilah.
-
Kedua,
perspektif administratif: Pandangan ini lebih
baik menekankan fungsi lembaga kepimpinan, yakni khalifah, dengan syarat, dan
aturan dan hierarki yang di konstrusikan sebagaimana di kemukakan dalam karya
klasik Al-mawardi (974-1058).
-
Ketiga,
perspektif dogmatik : Yakni pandangan yang
mementingkan dasar dasar moral dalam membangun masyarakat, bangsa, negara
sebagaimana diperkenalkan oleh Al-Ghazali (1058-1111)
-
Keempat,
perspektif soisologis: Pandangan yang
menjelaskan kehidupan masyarakat dan negara sebagai fenomena kemanusian yang
bersifat empiris seperti di perkenalkan Ibn Khaldul(1332-1406)
Dalam
menjelaskan dan pemandangan konsep masyarakat madani , tampaknya seperti
terjadi di indonesia masih terdapat pula beberapa pemahaman. Disatu pihak, terdapat
pandangan yang lebih bercorak “idealis formalis’’ dengan mempertautkan
masyarakat madani dengan masyarakat islam bercorak syariat dan lebih jauh lagi
dalam proyeksi negara islam sebagai
repsentasi dari negara madinah zaman Nabi. Pendekatan ideologis dalam di
masukan kedalam perspektif yang disebutpertamaini. Di pihak lain, terdapat
pulaorang yang berpandangan modern,yang meletakan masyarkat madani sebagai
proses sosial yang ebrsifat tranmormatif dengan nilai nilai islam sebagai
landasan etik sebagai terbentuknya masyarakat yang di cita-citakan. Di antara
kedua pandangan tersebut terdapat pula sebagaian kalangan yang lebih mendekati
perspektif sekularis, yang melepas cita cita sosial muslim dari formalisme dan
etika islam dari simbol simbol publik. Mereka membiarkan masyrakat muslim
tumbuh dengan hukum-hukum sosial universal
dan mendomestikasikan nilai-nilai agama sebagai ideolis semata mata
sebagai urusan pribadi dan tidak boleh menjadi domain publik.
Berbagai perspektif dan pendekatan tersebut harus terus bergulir
dan menetukan corak fraksis dari gerakan islam menawarkan model masyrakat
madani dengan berbagai konseptual, ideologis, dan kepentingan konteksual yang
meyertainya. Semua itu adanya sebagai corak dari plaralitas pemeikiran dan
gerakan islam termasuk indonesia kendati dapat menjadi masalah sendiri dalam
banguanan etentitas kaum muslim di negeri ini.
Berbeda dengan Al-Mawardi yang
lebih mengutamakan khalifah dan
kekhalifahan, Al-Farabi tidak menempatkan khalifah sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi, tetapi menempatkannya sebagai pelaksana undang-undang dari Allah.
Maka, sebenarnya konsep Al-Farabi itu lebih dekat dengan “bangunan masyarakt”
ketimbang “kekuasaan negara”, atau setidak-tidaknya menempatkan khalifah
sebagai pemegang kedaulatan yang bersifat teknis. Dalam teori politik
Islam, pemikiran atau konsep Al-Farabi
ini sering dimasukkan kedalam madzhab utopis,
yang diilhami oleh pemikiran Plato tentang city-state
(negara kota).
Negara Madinah sendiri dalam telah
pemikir muslim masih bersfiat mult-tafsir atau, setidak-tidaknya, dua-tafsir.
Di satu pihak, negara Madinah dipandang sebagai model atau bentuk negara dalam
arti yang sesungguhnya, sebagaimana konsep negara modern dengan struktur kekuasaannya yang kaku dan
otoritatif dan kewenegaraan yang sangat besar, yang oleh Weber bahkan disebut
berhak melakukan pemaksaan secara fisik kepada para warga negaranya. Dalam kaitan
ini, kemudian mekarlah paham bentuk sejarah Nabi di Madinah itu, sebagaimana
banyak dianut oleh kaum Muslim di sebagian dunia Islam.
Di Indonesia, konsep negara Islam
pun pernah mekar terutama pada era 1940-an, yang semangat dan pahamnya pun
masih dianut oleh sekelompok Muslim sampai sekarang. Bahkan, konsep Masyumi
tentang model baldatun thoyyibatun wa
rabbun ghafur oleh sejumlah orang dianggap sebagai model negara Islam atau
setidak-tidaknya model masyarkat Islam yang becorak ideologis.
Sementara di pihak lain, tumbuh
pula pandangan yang tidak melihatnya sebagai negara dalam pengertian dan
bentuknya yang rigid, tetapi sebagai bentuk masyarakat, atau secara khusus
masyarakat politik. Ar-Raziq termasuk pemikir Muslim yang menganut pandangan
kedua ini, kendati pandangan-pandangannya yang lain kadang tampak sangat
kenegaraan sebagai berikut:
“Setelah
Nabi Wafat, umat Islam mulai berhadapan langsung dengan persoalan otoritas
negara. Stuktur politik yang dibangun Nabi adalah unik dalam sejarah. Berbeda
dengan otoritas negara konvensiaonal yang kebahasaannya hampir mutlak, otoritas
politik yang di bangun Nabi merupakan asosiasi sukarela. Bukan hanya
keanggotaannya bersifat sukarela. Tetapi juga menuntut risiko personal yang
berat. Partisipasi dalam gelanggang publik (seperti ekspedisi miiter atau
pembayaran iuran) juga bersifat sukarela. Negara tidak mempunyai cara untuk
memaksakan partisipasi . Salah satu sanksi terhadap mereka yang diragukan
loyalitasnya adalah menolak keterlibatan mereka dalam tugas-tugas publik. Nabi
diperintahkn untuk menolak pembayaran zakat
(sedekah) dari dermawan yang tidak ikhlas, dan juga melarang mereka yang
menolak berapartisipasi dalam misi tertentu untuk bergabung dalam
ekspedisi-ekspedisi berikutnya. Sanksi-sanksi ini bersifat moral dan sangat
jauh dari cara-cara konvesional pemaksaan negara.”
D.
PENGEMBANGAN
NILAI – NILAI KEWARGAAN
Baik konsep maysarakat maupun civil society memerlukan prasyarat
mentalits berupa dukungan nilai-nilai yang tumbuh dalam pikiran dan tindakan
anggota masyarakat dalam wujud nilai nilai kewargaan. Nilai-nilai kewargaan
yang di maksud ialah segala sesuatu yang di pandang berharga atau utama yang
menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
sebagaimana cita-cita dari masyarakat madani.
4 prasyarat bagi terbentuknya civil soecity yaitu:
1. Kemerdekaan
berserikat serta mandiri dari negara
2. Adanya
ruang publik yang memberikan kebebasan bagi siapa saja dalam mengartikulasikan
isu-isu poliik
3. terdapat
gerak-gerakan kemasyrakat yang berdasar pada nilai-nilai budaya tertentu
4. terdapat
kelompok inti yang mengakar dalam masyarkat yang mengerakan masyarakat dan
melakukan modernisasi sosial-ekonomi
Namun apapun masalah dan dinamika
yang di hadapi dalam menggagas dan menawarkan gerakan masyarakat madani
mempeoleh momentum yang dan tumbuh fenomena baru, fenomena baru tersebut antara
lain :
a. makin
meluas proses dan tuntunan akan minimalisasi fungsi negara dan instisusi
monolitik seperti militer
b. reformasi
berupa demokratis, penegakan hak asasi manusia, pembentukan pemertintahan yang
bersih, supremasi hukum, demokratisasi ekonomi, dan agenda reformasi
c. ancaman
disintegrasi nasional dan makin kuatnya tuntunan untuk menata kembali kehidupan
bermaysarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah integrasi nasional baru yang
lebih awet dan rasional
d. masikn
luas kesadaran dan pelembagaan gerakan gerakan swadaya masyarakat melalui
organisasi kemasyarakat (ORMAS) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)
e.
makin derasnya tuntunan
dan gerakan ke arah pemberdayan rakyat di hadapan negara sebagai bagian dari
reformasi dan demokratisasi yang lebih kokoh dalam semangat membanggun civil society
f. era
otonomi daerah yang akan menimbulkan perubahan perubahan sosial kultur baru
dengan sejumlah masalah yang menyertainya
g. makin
meluasnya kesadaran globalisasi yang disertai tuntunan membangun peradaban global yang beradab dan beperike-manusiaan dalam tatanan ideal masa depan (the ideal commonuity of the future)
terdiri atas empat element :
1) one
standard : prisnsip mengutamakan kebijakan untuk hidup baik dan menjunjung
tinggi hukum serta keteraturan
2) one
heart : visi dan arahan untuk menempatkan nilai luhur yang menyatu dalam hati
nurani dan mementingkan keputusan dam kemampuan membawa diri dalam hidup
3) one
mind : yang mengarah pada tujuan, misi, dan kesatuan, bukan uniformitas, keberegaman
dan bukan keseragaman
4) economic
equality:tidak adanya kemiskinan dalam kehidupan manusia
Masyarakat madani sebagai format
yang di idam-idamkan memerlukan sosialisasi nilai dalam kehidupan maysrakat
luas selain sebagai upaya polotik melalui perubahan perubahan struktual di
tinkat negara. Sosialisasi tersebut dimaksudkan agar setiap anggota mayarakat
selaku warga negara benar benar menyadari hak dan kewajiban secara otonom dan
penuh tanggungjawab demi tercipta tataan menyarakat.
Sosialisasi nilai-nilai kewargaan
dari maysrakat madani dapat dilakukan melalui unit-unit prantara sosial seperti
keluarga, hubungan-hubungan sosial, pendidikan, media masa. Selain melalui
institusi politik negara. Sosiliasasi nilai-nilai kewargaan secara lebih fokus dapat
di kembangkan komunitas lokal seperti masyarakat smin, badui, suku-suku di
pedalaman dan lain-lain.
Sosialisasi nilai-nilai kewargaan
juga di program untuk maysrakat pedesaan dan perkotaan dan di kembangkan untuk
komunitas etnik atau suku-bangsa di berbagai daerah di indonesia.
Kebudayaan terdiri atas seperangkat
nilai dan norma yang menjadi pedoman bertingkah bertingkah laku bagi setiap
anggota masyarakat, bahkan lebih konkret lagi berupa hal – hal fisik yang
dibangun secara bersama yang dikenal sebagai wujud kebudayaan fisik yang
memiliki makna-makna simbolik.
Kebudayaan berfungsi sebagai system
kesatuan makna, pendidikan, integrasi social, identitas diri, dan hidup beradab
yang bersemi dalam seluruh alam pikiran kolektif anggota masyarakat.
Masyarakat sebagai system social
yang menyeluruh setidak-tidaknya harus memiliki komponen dasar yang membentuk
kesatuan, yaitu kebudayaan sebagai system nilai kolektif, struktur social
sebagai institusi yang mewadahi interaksi social secara terpola, system
kepribadian yang berwujud identitas atau cirri-ciri yang melekat dalam
mentalitas para anggotanya, lingkungan, dan factor fisik yang menjadi penopang
kehidupannya.
Factor kelembagaan termasuk hal
penting untuk kepentingan membangun masyarakat madani sebagai system social
muslim. Sardar (1986:141), misalnya, memperkenalkan hierarki system soasial
muslim dalam pola lingkaran yang dimulai dari subsistem terkecil yaitu individu
muslim, keluarga muslim, lingkungan muslim, kota muslim, dan, lebih luas lagi,
umat muslim. Bagi Sardar, system muslim (moslem system) merupaan suatu system
holistic yang menyangkut pandangan dunia muslim yang melibatkan rakyat, budaya,
peradaban, area, ajaran-ajaran, dan nilai-nilai Islam.
Masyarakat Islam sebagai suatu
kesatuan menurut As-Siba’I (1987:181) memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1. System
masyarakat muslim adalam satu system kehidupan masyarakat yang berdaya maju,
bergerak dan aktif, modern dan maju, serta bukan masyarakat zahid dan darwisy
yang memilih hidup melarat sebagaimana paham sufiyah;
2. System
masyarakat muslim mengakui dan menjamin hak asasi manusia dan
perundang-rundangan sebagai jaminan social, membasmi kemelaratan, penyakit
kebodohan, pengecut, dan perasaan rendah diri;
3. Taraf
kehidupan menurut system masyarakat Islam itu tinggi dan bermutu;
4. System
msyarakat muslim itu cocok untuk semua orang muslim dan non-muslim, karena
dasar-dasar dan hak-hak menurut system ini berlaku bagi semua penduduk tanpa
pengecualian;
5. Sisitem
masyarakat Islam mengikutsertakan rakyat bersama pemerintah dalam pelaksanaan
urusan umum;
6. Sisitem
masyarakat Islam mudah untuk dibentuk, tidak kaku, dapat dipraktekan setiap
waktu, serta sesuai dengan perkembangan zaman dan gerak kemajuan;
7. System
masyarakat Islam merupakan gerak praktis dan undang-undang yang harus
diturutinya tidak ubahnya seperti undang-undang pemerintahan, sehingga bukan
ide semata; dan
8. System
masyarakat Islam benar-benar merupakan dasar pokok dan dasar kerja bagi
pemerintah dan Negara Islam sejak berdirinya pada abad ke-7.
Banyak
model kontruksi yang dapat dikembangkan untuk mewujudan masyarakat madani
sebagai system masyarakat Muslim. Ibn Khaldun, misalnya, memperkenalkan konsep
‘umran’ untuk menggambarkan suatu peradaban yang dinamis, selalu berkembang,
dan operasional.
Di Malaysia yang lebih moderat, proyek
membangun peradaban muslim selain melalui Negara juga mulai tumbuh melalui
usaha-usaha kelompok masyarakat terutama di bidang ekonomi yang disebut dengan
proyek ekonomi Islam.
System politik madani, menurut Azra
(1999:3), ialah system politik yang civilized (berperadaban), yang aktualisasinya
berwujud system politik demokratis berdasarkan check and balance antara Negara
(state) dan masyarakat (society), berkeadilan, bersandar pada kepatuhan, dan
tunduk kepada hukum (law and order).
BAB
III
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
Pendidikan kewarganegaraan adalah konsep multi
dimensional yang dimaksudkan untuk meletakkan dasar-dasar pengetahuan tentang
masyarakat politik, tentang persiapan yang diperlukan untuk berpartisipasi
dalam proses politik secara menyeluruh, dan secara umum tentang apa definisi
dan bagaimana menjadi warga negara yang baik.
Untuk mewujudkan masyarakat madani dan
agar terciptanya kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya
dapat membuat suatu perubahna yang signifikan. Selain itu juga kita dapat
menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini.
Selain memahami apa itu masyarakat madani
kita juga harus melihat pada potensi manusia yang ada dimasyarakat, khususnya
diindonesia. Potensi yang adda didalam diri manusia sangat mendukung kita untuk
mewujudkan masyarakat madani.
B. SARAN
Demikianlah
pembahasan tentang masyarakat madani yang kami paparkan, masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan didalamnya, semoga para pembaca, pendengar, dan guru
pembimbing dapat memberikan kritik dan sarannya yang bersifat membangun demi
kesempurnaan penyusunan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
As-siba’i,
Musthafa. 1987. Sistem Masyarakat Islam
(disadur oleh A malik Ahmad). Jakarta : Pustaka Hidayah.
Azra,
Azyumardi.1999. Menuju Masyarakat Madani
: gagasan, fakta, dan tantangan. Bandung : Rosdakarya
Basyir,
Ahmad Azhar.1983. Citra Masyarakat Muslim.
Yogyakarta : Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Islam Indonesia.
Anonim.
Tanpa Tahun. Konsepsi dan Strategi.
Jakarta : Lembaga Pengkajian Pengembangan PP Muhammadiyah.
Culla,
Adi Suryadi. 1999. Masyarakat Madani :
Pemikiran, Teori, dan relevasinya dengan Cita-cita Reformasi. Jakarta :
Rajawali
Djarwani
handikusuma.1995. Masyarakattama dalam
M.Yunan Yusuf dkk. Masyarakat Utama : konsepsi dan Strategi. Jakarta :
Lembaga Pengkajian dan pengembangan PP Muhammadiyah.
wahh... makasih mba ... blognya bagus.. :D
BalasHapusbgss
BalasHapusgood
BalasHapusbagus
BalasHapus